Antara Kritik dan Apresiasi: Menggugat Kembali Reformasi Gereja di Indonesia
Reformasi gereja di Indonesia telah menjadi perdebatan yang mendalam antara kritik dan apresiasi. Sebagai sebuah gerakan yang bertujuan untuk memperbaiki dan memperbarui gereja, reformasi gereja telah menyentuh berbagai aspek kehidupan beragama di Indonesia. Namun, ada beberapa hal yang perlu digugat kembali dalam upaya mencapai tujuan reformasi gereja yang lebih baik.
Salah satu kritik yang muncul terkait reformasi gereja di Indonesia adalah kesenjangan sosial yang masih ada di dalam gereja itu sendiri. Dr. Adolf Heuken, SJ, seorang ahli sejarah Gereja Katolik di Indonesia, mengungkapkan, “Reformasi gereja seharusnya tidak hanya berfokus pada perubahan struktural, tetapi juga pada perubahan sosial yang lebih luas. Gereja harus mengatasi ketidakadilan dan kesenjangan yang terjadi di masyarakat.”
Kritik ini juga diperkuat oleh Prof. Franz Magnis-Suseno, SJ, seorang teolog dan filsuf terkenal di Indonesia. Beliau berpendapat bahwa gereja harus berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak sosial dan ekonomi umatnya. “Gereja harus menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan dan memperjuangkan keadilan bagi semua orang,” tegasnya.
Selain itu, masih terdapat tantangan dalam hal kebebasan beragama di Indonesia. Menurut data dari Pew Research Center, Indonesia berada di peringkat 38 dari 198 negara dalam Indeks Keterbukaan Agama. Meskipun ada kebijakan dari pemerintah yang mendukung kebebasan beragama, masih terdapat kasus-kasus intoleransi yang terjadi di masyarakat.
Prof. Dr. Bambang Sugiharto, seorang pakar hubungan antaragama, menyatakan bahwa gereja harus terus berjuang untuk memastikan kebebasan beragama bagi umatnya. “Reformasi gereja harus mengutamakan toleransi dan dialog antarumat beragama. Gereja harus menjadi contoh bagi masyarakat dalam menghormati perbedaan agama,” katanya.
Namun, di tengah kritik yang ada, ada juga apresiasi terhadap reformasi gereja di Indonesia. Menurut Dr. Alexander R. Arifianto, seorang peneliti senior di Centre for Multilateralism Studies, gereja telah berhasil membuat perubahan yang signifikan dalam menghadapi tantangan zaman. “Reformasi gereja telah menghasilkan pemimpin-pemimpin gereja yang lebih terbuka, berpikiran maju, dan siap beradaptasi dengan perubahan zaman,” ungkapnya.
Apresiasi juga datang dari Jusuf Kalla, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12. Beliau menyatakan, “Reformasi gereja telah membawa semangat kebangkitan rohani yang lebih kuat di kalangan umat Kristiani. Gereja-gereja di Indonesia kini lebih aktif dalam memberikan pelayanan sosial bagi masyarakat.”
Dalam kesimpulannya, reformasi gereja di Indonesia merupakan sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan. Meskipun terdapat kritik yang perlu digugat kembali, apresiasi terhadap perubahan yang telah terjadi juga tidak bisa diabaikan. Dalam upaya mencapai tujuan reformasi gereja yang lebih baik, penting bagi gereja untuk tetap memperjuangkan keadilan sosial, kebebasan beragama, dan menjadi contoh dalam menghormati perbedaan agama. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Adolf Heuken, SJ, “Reformasi gereja tidak boleh berhenti di struktur gereja, tetapi harus mencakup perubahan sosial yang lebih luas.”